top of page
  • Writer's pictureAngel Jauhari

Pensiun

Updated: Feb 10, 2021

Beberapa tahun terakhir menjadi waktu di mana papa ada di jenjang kariernya yang tertinggi. Lantas, aku kaget ketika suatu hari papa memutuskan untuk pensiun dini.


Alasannya?


Bahagia.


Kebahagiaannya sesederhana duduk di atas kursi goyang, mengantar Dadam ke sekolah, juga mengajar Saski Bahasa Inggris. Sebelum pensiun, hal-hal di atas sulit untuk terwujud. Selalu mama yang mengantar Dadam, padahal papa mau.


Tiap subuh, papa berangkat kerja saat anak-anaknya masih tidur. Pulang kerja, masih sempat mengajar Bahasa Inggris tapi sekali-dua kali saja. Itu berjalan berulang selama 24 tahun.


Sebelum pensiun, jauh saat aku masih SMP, aku ingat hampir tiap malam papa ditelfon Mr. Nim masalah kerjaan. Aku tahu raut muka papa mencerminkan rasa super lelah. Tapi toh papa angkat. Bagian dari tanggung jawab, katanya.


Dulu aku berpikir keras, kenapa papa harus ambil pensiun dini? Padahal kalau masih di sana, banyak sekali tunjangannya. Selain itu, kantor papa juga banyak berjasa padaku. Aku dibawa papa berkenalan dengan kliennya untuk membantu mereka mengenal Indonesia. Aku dibuat melatih Bahasa Inggrisku ketika aku dipercaya menjadi tour guide dari tamu-tamu luar negeri.


Sekali dua bulan papa juga ke luar negeri mewakili kantornya. Aku tidak peduli dengan oleh-oleh. Aku lebih tertarik mendengar cerita papa ketika menghabiskan minggu-minggu di sana. Cerita tentang sakau di Singapura, sakit perut di Finlandia, persepsi orang Jerman tentang Indonesia. Sampai aku pikir cita-citaku mau jadi seperti papa: berkarier tinggi, keliling dunia.


Tapi aku lupa, esensi karier papa yang cemerlang itu sejatinya adalah investasi untuk orang-orang di rumah. Untuk mencukupi hidup kami. Bahagia di kantor jauh berbeda dengan di rumah.


Pasca pensiun, papa bahkan masih diajak kerja di MNC lain. Tapi papa tolak. Alasannya lagi-lagi karena mau sama Dadam dan Saski saja.


Bagaimana dengan ekonomi keluarga? Dengan potensi papa yang masih bisa digunakan untuk bekerja di posisi yang menjanjikan?


Papa rasa semuanya sudah cukup di 24 tahun terakhir ini. Saatnya berhenti. Sudah dipikirkan, direncanakan matang-matang.


Sekarang, setiap pagi aku membuka wa, ada status papa yang memuat foto Dadam beli bekal sekolah, foto Dadam main sama temannya, atau foto Saski lomba menari. Ditulis dengan Bahasa inggris atau Bahasa Sunda dengan titik-titik yang super banyak. Khas papa.


Looking back, I know that my dad has chosen his happiest decision in his life.

I know I always wanna be like him.

He knows how to succeed.

He knows how to be an expert in his field.

Yet, he also knows when to quit.


“Contentment,” he said.


154 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page